Rabu, 30 Desember 2009

Bagaimana Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an (Analisis Filsafat Ilmu)

Bagaimana Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an
(Analisis Filsafat Ilmu)
Oleh :
TUHROJIN


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Ide tentang integrasi keilmuan Islam di kalangan para pemikir pendidikan Islam di Indonesia selama ini dipandang masih berserakan dan belum dirumuskan dalam suatutipologi pemikiran yang khas, terstruktur, dan sistematis. Bahkan transformasi beberapa IAIN/STAIN menjadi UIN pun dipandang belum menggambarkan peta pemikiran keilmuan Islam, baik di Indonesia maupun di dunia Islam pada umumnya; baik masa klasik maupun kontemporer. Itulah sebabnya berbagai gagasan integrasi keilmuan, termasuk juga kristalisasinya dalam bentuk transformasi IAIN/STAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tiplogi atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam.
Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dualisme atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmuilmu agama di sisi lain. Dikhotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikhotomi institusi pendidikan—antara pendidikan umum dan pendidikan agama—telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern1. Dikhotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.
Dengan melihat latar belakang diatas maka pemakalh akan mencoba merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an ?
2. Bagaimana Integrasi Keilmuan Ke-Islam-an ?
3. Apa Perbedaan Sains Islam dengan Sains Barat ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an
Berusaha memahami konseps ilmu-ilmu ke-Islam-an, pertama-tama harus dilacak terlebih dahulu pengertian dan hakikat ilmu secara umum. Pengertian dan hakikat ilmu sejak lama menjadi bahan polemik di kalangan filosof dan ilmuwan. Bahkan dalam konteks bahasa Indonesia, istilah "ilmu" seringkali dikacaukan dengan istilah "pengetahuan". Itulah sebabnya menjadi tidak mudah memberikan definisi "ilmu". Yuyun Suriasumantri, mengartikan ilmu sebagai pengetahuan yang memiliki dengannya bagaimana mengetahui cara beribadah sebenar-benarnya lagi pula apa-apa yang diharapkan bermuamalah (bermasyarakat) lagi pula apa-apa yang dihalalkan. Kedua, ilmu pengetahuan fardhu kifâyah. Adapun ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah ialah setiap ilmu pengetahuan manakala suatu masyarakat tidak ada orang lain yang mengembangkan ilmu-ilmu itu, sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan dan kekacauan-kekacauan dalam kehidupan Al- Ghazali menyebutkan: "....bidang-bidang ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah ialah, ilmu kedokteran, berhitung, pertanian, pertenunan, perindustrian, keterampilan menjahit, politik dsb. tiga karakteristik, yaitu: rasional, empiris, dan sistematis.1 Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Amsal Bachtiar, yang menyatakan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secra empiris.
Dengan mempertimbangkan maksud dan tujuan penggunaan kata ilmu serta karakteristik yang dimilikinya, istilah ilmu merupakan padanan dari bahasa Inggris, "science". Ilmu yang berasal dari kata bahasa Arab, 'ilm ( علم ) adalah sinonim dengan "science" dalam bahasa Inggris. Itulah sebabnya Mulyadhi Kartanegara menyatakan:
Menurut saya, istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah science dalam epistemologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistemologi Barat dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ra'y). Sementara sains dipandang sebagai any organized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai "pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya". Dengan demikian, ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekadar opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.
Dalam terminologi Barat, ilmu atau science tiada lain adalah organizedknowledge atau organized body of knowledge, sebagaimana dikemukakan dalam Encyclopedia Wikipedia: Science refers to the organized body of knowledge concerning the physical world, both animate and inanimate, but a proper definition would also have to include the attitudes and methods through which this body of knowledge is formed; thus, a science is both a particular kind of activity and also the results of that activity.
Semua definisi ilmu atau science yang dikemukakan tersebut di atas, membedakan antara ilmu (science) dengan pengetahuan (knowledge). Kalau ilmu pada umumnya secara sederhana dimaknai sebagai organized knowledge atau pengetahuan yang terorganisasi, maka tidak demikian halnya dengan pengetahuan. Kata yang terakhir ini sejak lama menjadi objek pemikiran para filosof secara intens dan penuh perdebatan, bahkan sampai sekarang.
Tetapi pada umumnya, pengetahuan (knowledge) diartikan sebagai segala sesuatu atau keseluruhan yang diterima oleh indra manusia atau dengan menggunakan istilah Arthur Hays Sulzberger, pengetahuan (knowledge) adalah the sum or range of what has been perceived, discovered, or learned.
Dengan pengertian pengetahuan seperti itu, maka semua informasi yang dapat dipersepsi, dicari, dan dipelajari masuk dalam kategori pengetahuan. Namun demikian kebanyakan filosof membuat setidaknya tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh pengetahuan, yaitu beralasan (justified), benar (true), dan dapat dipercaya (believed). Dengan kriteria tersebut, tidak semua informasi dapat dikategorikan sebagai pengetahuan.

Oleh karena itu, maka ilmu (science) adalah bagian dari pengetahuan (knowledge). Ilmu hanya bagian dari pengetahuan, dan masih banyak jenis pengetahuan lain di luar ilmu. Lalu apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu Islam atau ilmu-ilmu ke- Islam-an?
Hakikat Ilmu-ilmu Ke-Islam-an Terhadap pertanyaan tersebut di atas, para pemikir berbeda pandangan. Namun yang perlu dipertegas, ilmu-ilmu ke-Islam-an dalam wacana akademik memiliki padanan kata "Islamic Science"1. Ilmu-ilmu ke-Islam-an sebagai "Islamic Science" setidaknya dimaknai dalam dua perspektif, yakni perspektif tradis atau kesejarahan dan perspektif filosofis. Dalam perspektif pertama berdiri para pemikir dan akademikus Barat dan sebagian kecil pemikir Muslim yang memaknai ilmu-ilmu ke-Islam-an sebagai ilmuilmu yang berkembang dalam tradisi umat Islam, sebagaimana ditemukan dalam Encyclopedia Wikipedia, di mana ilmu-ilmu ke-Islam-an diartikan sebagai: Islamic science is science in the context of traditional religious ideas of Islam, including its ethics and philosophy. A Muslim engaged in this field is called a Muslim scientist.2
Dalam pengertian ini, Islamic science adalah ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana yang dikenal dewasa ini seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Kalam, Tasawuf, dan lain-lain. Pandangan yang mereduksi ilmu-ilmu ke-Islam-an hanya terbatas pada ilmuilmu keagamaan sebagaimana yang kita kenal dewasa ini, juga dimiliki oleh sebagian pemikir Muslim. Muhammad Muhsin Khan, misalnya selalu menerjemahkan kata Arab ‘ilm sebagai ilmu-ilmu keagamaan (religious knowledge). Selain Muhammad Muhsin Khan, salah seorang pemikir Muslim lain, Ahmad Dallal juga mengartikan Islamic Science sebagai Arabic Science (ilmu-ilmu Arab)
Keyakinan sains Islam bahwa ia tidak bebas nilai memang bertentangan dengan keyakinan Barat yang secara tegas menyatakan bahwa sains bebas nilai (values free). Bahwa sains tidak bebas nilai memang banyak diyakini oleh para pendukung gagasan integrasi keilmuan melalui konsep Islamisasai ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge). Munawar Ahmad Anees, misalnya, menyatakan bahwa sains Islam bukanlah:
1. Sains yang diislamkan, karena epistemologi dan metodologinya adalah produk ajaran Islam yang tidak bisa direduksi ke dalam pandangan Barat yang sempit.
2. Reduktif, karena paradigma makro absolut Tauhid mengikat semua pengetahuan dalam sebuah kesatuan organik.
3. Anakronistik (menyalahi zaman), karena ia diperlengkapi dengan kesadaran masa depan yang disampaikan melalui sarana dan tujuan sains.
4. Dominan secara metalologis, karena ia mengizinkan pengembangan metode bebas secara mutlak di dalam nonma-norma Islam yang universal.
5. Terkotak-kotak, karena la meningkatkan polimathy yang bertentangan dengan spesialisasi disiplin ilmu yang sempit. Ketidakadilan, karena epistemologi dan metodologinya bermakna distribusi keadilan dengan sebuah konteks sosial yang pasti.
6. Sempit, karena nilai-nilai sains Islam yang tak dapat dipindahkan itu menjadi cermin dari image nilai-nilai Islam.
7. Ketidakseseraian secara sosial, lantaran "objektivitas subjektifnya" berada dalam konteks produk sains secara sosial.
8. Bucaillisme, oleh karena la adalah pikiran logika yang keliru.
9. Pemujaan, karena ia tidak membuat pengesahan epistemik terhadap Ilmu Gaib, Astrologi, Mistisisme dan ilmu-ilmu sejenisnya.

B. Hakikat Integrasi Keilmuan Ke-Islam-an
Menyusun dan merumuskan konsep integrasi keilmuan tentulah tidak mudah. Apalagi berbagai upaya yang selama ini dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi Islam, terutama di Indonesia, dengan cara memasukkan beberapa program studi ke- Islam-an diklaim sebagai bagian dari proses integrasi keilmuan. Dalam praktek kependidikan di beberapa negara, termasuk di Indonesia, integrasi keilmuan juga memiliki corak dan jenis yang beragam. Lagi pula merumuskan integrasi keilmuan secara konsepsional dan filosofis, perlu melakukan kajian filsafat dan sejarah perkembangan ilmu, khususnya di kalangan pemikir dan tradisi keilmuan Islam.
Untuk memberikan pemahaman yang memadai tentang konsep integrasi keilmuan, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memahami konteks munculnya ide integrasi keilmuan tersebut. Bahwa selama ini di kalangan umat Islam terjadi suatu pandangan dan sikap yang membedakan antara ilmu-ilmu ke-Islam-an di satu sisi, dengan ilmu-ilmu umum di sisi lain. Ada perlakukan diskriminatif terhadap dua jenis ilmu tersebut. Umat Islam seolah terbelah antara mereka yang berpandangan positif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an sambil memandang negatif yang lainnya, dan mereka yang berpandangan positif terhadap disiplin ilmu-ilmu umum sembari memandang negatif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an.
Dari konteks yang melatari munculnya ide integrasi keilmuan tersebut, maka integrasi keilmuan pertama-tama dapat dipahami sebagai upaya membangun suatu pandangan dan sikap yang positif terhadap kedua jenis ilmu yang sekarang berkembang di dunia Islam.
Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah). Dalam pengertian yang lain, M. Amir Ali juga menggunakan istilah all correct theories are from Allah and false theories are from men themselves or inspired by Satan. Dengan pengertian yang hampir sama Usman Hassan menggunakan istilah "knowledge is the light that comes from Allah ".
Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Allah (tawhîd), sebagaimana dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, the arts and sciences in Islam are based on the idea of unity, whichh is the heart of the Muslim revelation.
Doktrin keesaan Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma'il Razi al Faruqi, bukanlah sematamata suatu kategori etika. Ia adalah suatu kategori kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-proposisinya. Dan karena sifat dari kandungan proposisinya sama dengan sifat dari prinsip pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika, dan estetika, maka dengan sendirinya dalam diri subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menyinari segala sesuatu.
Ajaran al-tawhîd sebagai dasar dan sumber ilmu-ilmu ke-Islam-an memang diakui secara luas oleh para pemikir Muslim kontemporer. Dalam upaya mendefinisikan riilai-nilai pijakan sains Islam, sebuah seminar tentang "Pengetahuan dan Nilai" telah dilaksanakan di bawah perlindungan International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS) di Stockholm pada September 19815. Para peserta menyisakan sepuluh konsep Islami dan secara bersama-sama membentuk kerangka nilai sains Islam:
1. Tauhid (keesaan Allah);
2. Khilafah (kekhalifahan manusia);
3. Ibadala (ibadah);
4. `Ilm (pengetahuan);
5. Halal (diperbolehkan);
6. Haram (dilarang);
7. Adl (keadilan);
8. Zhulm (kezaliman);
9. Ishtishlah (kemaslahatan umum);
10. Dhiya (kecerobohan).
Lembaga sains Islam harus berkembang dengan mengambil nilai-nilai positif sebagaimana prinsip-prinsip petunjuk Islam dan dengan menentukan prioritas penelitiannya serta implementasi proyek atas dasar nilai-nilai tersebut. Fungsi nilai-nilai negative seperti haram, zhulm, dan dhiya ditegakkan untuk mempertahankan seluruh aktivitas sains dalam kerangka tolok ukur yang bisa diterima etika. Manakala batas-batas yang dibenarkan oleh sains Islam dilanggar, maka nilai-nilai negatif ini ditegakkan untuk mempertahankan etika masyarakat Islam.
Inti konsep paradigma sains Islam, sebagaimana yang dihasilkan dari seminar Stockholm tersebut di atas adalah Tauhid, khilafah, dan 'ibadah. Ketiga prinsip tersebut menjabarkan peran dan tujuan kehidupan manusia, membuat kehidupan manusia dan alam semesta menjadi lebih berarti. Ilmuwan Muslim dan lembaga-lembaga serta pusat sains Islam seharusnya memiliki tujt.ian utama meningkatkan keadilan dan kemaslahatan
manusia, sementara dalam waktu yang bersamaan mampu meredam atau menekan zhulm dan dhiya. Setiap program penelitian yang memungkinkan untuk diterapkan harus sepenuhnya ditinjau-ulang guna meyakinkan bahwa ia bukarrlah ketidakadilan secara ekonomi, sosial, atau budaya. Setiap usaha penelitian dan proyek yang destruktif (dalam arti secara fisik, sosial, ekonomi, budaya, spiritual dan lingkungan) harus dicegah, karena sains dan teknologi semacam ini dapat memancing pola konsumtif yang merajalela. Sekarang ini kita menyaksikan semacam teknologi yang liar dalam keterasingan dan dehumanisasi sebagian besar lapisan kemanusiaan. Ini merupakan karakteristik utama sains yang zalim atau tiranik yang mengakibatkan kerusakan sumber daya alam, manusia dan spiritual, maka di situlah muncul kecerobohan (dhiya). Seperti diungkapkan Ziauddin Sardar: Ketika model teoretis sains Islam ini memerlukan penanganan lebih jauh, maka jelaslah ia dapat membentuk landasan sebuah kebijaksanaan sains praktis bagi negara-negara Islam. Konsep Islam, seperti ditunjukkan oleh sejarah Islam dengan cemerlangnya, tidak hanya memiliki nilai analitis semata, tapi mereka juga pragmatis secara intrinsik. Tanpa mempraktikkan konsep kunci ini, tampaknya sulit bagi sebuah masyarakat, atau peradaban, untuk menyatakan bahwa ia adalah Islami. Dengan demikian, model sains Islam yang dikembangkan dalam seminar Stockholm memiliki nilai praktis yang kuat. Terlepas dari pembentukan kebijaksanaan sains bagi negara-negara Muslim, ia juga dapat digunakan sebagai kriteria untuk menguji keaslian dan isi sains Barat dan menentukan nilai yang berasal dari beragam komponen masyarakat Islam. Secara garis besamya, ia dapat digunakan sebagai kerangka acuan kritik sains modern—sebuah kritik yang sehanasnya menggarisbawahi fakta bahwa rasionalitas yang tidak manusiawi dari sains modern dapat dijinakkan, dengan sebuah visi ilmu pengetahuan yang lebih manusiawi rnenuju kemaslahatan umat manusia.

C. Perbedaan Sain Islam dengan Sains Barat.
Lalu, apa yang menjadi karakteristik dasar sains Islam (Islamic sciences) atau ilmu-ilmu ke-Islam-an, yang membedakannya dengan sains yang berkembang pada masyarakat modern? Terhadap pertanyaan ini, Nasim Butt, yang mengutip pandangan Ziauddin Sardar memberikan karakteristik-karekteristik dan ukuran-ukuran sains Islam yang berbeda dengan sains Barat, sebagai berikut: Ukuran Sains Barat:
1. Percaya pada rasionalitas.
2. Sains untuk sains.
3. Satu-satunya metode, cara untuk mengetahui realitas.
4. Netralitas emosional sebagai pr-asyarat kunci menggapai rasionalitas.
5. Tidak memihak, seorang ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan akibat-akibat penggunaannya.
6. Tidak adanya bias, validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya.
7. Penggantungan pendabat, pernyataan-pernyataan sains hanya dibuat atas dasar bukti yang meyakinkan.
8. Reduksionisme, cara yang dominan untuk mencapai kemajuan sains
9. Fragmentasi, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit, karenanya harus dibagi ke dalam disiplin-disiplin dan subdisiplin-subdisiplin.
10. Universalisme, meskipun sains itu universal, namun buahnya hanya bagi mereka yang mampu membelinya, dengan demikian bersifat memihak.
11. Individualisme, yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik, dan ideologis.
12. Netralitas, sains adalah netral, apakah ia baik ataukah buruk
13. Loyalitas kelampok, hasil pengetahuan baru melalui penelitian merupakan aktivitas terpenting dan perlu dijunjung tinggi.
14. Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan.
15. Tujuan membenarkan sarana, karena penelitian ilmiah adalah mulia dan penting bagi kesejahteraan umat manusia, setiap sarana, termasuk pemanfaatan hewan hidup, kehidupan manusia, dan janin, dibenarkan demi penelitian sains.
Sedangkan ukuran Ukuran Sains Islam sendiri adalah sebagai berikut:
1. Percaya Pada wahyu
2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial.
3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid.
4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.
5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral.
6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.
8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilainilai.
9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.
11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya.
12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu.
13. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuangbuang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas etika dan moralitas.

























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

pengertian Islamic science adalah ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana yang dikenal dewasa ini seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Kalam, Tasawuf, dan lain-lain. Pandangan yang mereduksi ilmu-ilmu ke-Islam-an hanya terbatas pada ilmuilmu keagamaan sebagaimana yang kita kenal dewasa ini, juga dimiliki oleh sebagian pemikir Muslim.
Adapun Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah).
Sedangkan yang menjadi perbedaan yang mendasar dari sains barat dan Islam adalah letas sumber ilmu pengetahuan nsains itu sendiri kalau Islam dari Allah Tuhan semesta Allah dengan beberapa pendekatan yaitu :pendekatan empiris, rasionalis, dan intuisi. Sedangkan kalau barat hanya sebatas empiris dan rasionalis













DAFTAR PUSTAKA

 Ghazali, t.t., Ihya'u Ulum al-Dien, Dar al-Fikr, Beirut-Libnan,
 Ghulsyani, Mahdi, 1989, Filsafat Sains menurut Al-Qur'an, Bandung: Mizan.
 Kartanegara, 2003, Mulyadhi, Menyibak Teori Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan.
 Encyclopedia Wikipedia, Science, http://www.answers.com/topic/science.
 Munawwar, Ahmad Anees, 1986What Islamic sciences is Not, MAAS Journal of Islamic sciences.
 Hassan, Usman, 2003, The Concept of Ilm and Knowledge in Islam, The Association of Muslim Scientists and Engineers.
 Nasr, Seyyed Hossein, 1970Science and Civilization in Islam, New American Library, New York.
 Isma'il Razi al-Faruqi, 1992, Al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life, The International Institute of Islamic Thought, Virginia-USA.
 Ziauddin Sardar, 1985, Islamic Futures: The Shapes of Ideas to Come, Mansell, New York.
 Encyclopedia Wikipedia (2002) http://en.wikipedia.org/wiki/Ismail_al-Faruqi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar