Kamis, 31 Desember 2009

AGAMI JAWI RELIGIUSITAS ISLAM SINKRETIS

AGAMI JAWI
RELIGIUSITAS ISLAM SINKRETIS
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu :
DR. Ilman Nafi’ah, M.Ag








Disusun oleh:
TUKHROJIN


PASCASARJANA STAIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi Jawa, bahwa berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual. Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda.
Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan Islam Santri adalah sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Sementara itu, berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam secara baku seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, ngruwat, tirakat, sesajen, dan sebagainya.
Melihat latar belakang masalah diatas maka pemaklah akan merumuskan makalah yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konteks Kemunculan Agami Jawi ?
2. Bagaimana Tingkat Sistem Keyakinan ?
3. Bagaimana Tingkat Sistem Ritual ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Konteks Kemunculan Agami Jawi
2. Tingkat Sistem Keyakinan
3. Tingkat Sistem Ritual














BAB II
URAIAN PEMBAHASAN MAKALAH

A. Konteks Kemunculan Agami Jawi
Agami Jawi seperti yang disinyalir Koentjaraningrat sering disebut dengan Islam sinkretis. Yang dimaksud sinkretis secara umum adalah proses ataupun hasil dari pengolahan, penyatuan, pengkombinasian dan penyelarasan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya. Dengan adanya proses sinkretis maka apa yang terkandung di dalam sebuah sistem prinsip baru tidak hanya terkandung sistem prinsip asli agama yang bersangkutan tetapi juga sistem prinsip dari unsur lain. Demikian juga yang terjadi dengan Agami Jawi.
Dengan kata lain, sikap sinkretis adalah
Suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya sesuatu agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan.
Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses dialektika akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga atau tidak direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak.
Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi mistik. Islam mitis lebih berorientasi pada dimensi esoteris (batin) dibanding dimensi eksoteris (lahir). Ini berbeda dengan Islam yang datang pada gelombang kedua yaitu Islam reformis yang dibawa oleh para haji yang pulang dari Makkah. Islam reformis sebagai bagian dari gerakan wahabi yang sangat populer di tanah Arab yang sangat menentang keras kepercayaan-kepercayaan yang dianggap sebagai tahayul, kurafat atau bid’ah. Bentuk Islam mitis lebih menampakkan wajah lunak ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli (animisme dan dinamisme) dan Hindu-Budha.
Sebelum hadir agama-agama supra-nasional seperti Hindu, Budha, Islam, Katolik atau Kristen, bangsa Indonesia telah hidup dalam sebuah alam religius yang sering disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Oleh J.W.M. Bakker, kepercayaan purba ini disebut dengan agama asli atau otokton. Agama ini disebut asli karena berasal dan berakar dalam tradisi dan kultur setempat yang tidak diketahui secara pasti kapan munculnya dan siapa pendirinya.
Agama asli ini tidak memiliki sistem sejelas agama supra-nasional. Ia mengandung beberapa unsur ajaran mengenai prinsip teologis, eskatologis atau pun kosmologis. Namun demikian unsur-unsur bukan merupakan sistem ajaran yang ketat dan sistematis. Secara teologis kepercayaan ini mengajarkan ketuhanan etis, seperti yang maha baik, atau ketuhanan kosmis, seperti sangkan paraning dumadi. Secara kosmologis, kepercayaan ini mengajarkan tentang keseimbangan dunia mikrokosmos dan makrokosmos. Sedangkan secara eskatologis, kepercayaan ini memiliki ajaran tentang ruh aktif. Agama asli ini memiliki kekuatan yang relatif kokoh ketika berhadapan dengan agama-agama supra nasional. Bahkan agama asli ini tetap bisa eksis entah dalam bentuk sinkretisme, pemalsuan atau pemribumisasian agama-agama supra nasional.
B. Tingkat Sistem Keyakinan
1. Sinkretisme Teologis
Proses sinkretisme dalam Agami Jawi antara lain nampak dalam taraf teologis. Taraf ini menyangkut konsep Agami Jawi tentang Tuhan. Sumber representatif mengenai konsep Tuhan dalam Agami Jawi adalah kitab Nawaruci. Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agami Jawi tentang Tuhan lebih bercorak panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan panteistik ini lebih dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mitis dan Hindu-Budha dibanding dengan Islam formal.
Tuhan mitis dalam Agami Jawi memang lebih kental nuansanya dibanding dengan Tuhan syariat yang banyak menyebut Tuhan dengan sifat-sifat maha Kuasa, maha Perkasa, atau maha Tinggi. Tuhan mitis ini bisa dijumpai dalam Cerita Dewa Ruci karangan Yasadipoera yang bercerita tentang perjalan Bima Sena mencari air sejati kehidupan. Dalam salah satu bait dipaparkan:
Tanpa diketahui dari mana datangnya, Bima sekonyong-konyong berhadapan dengan seorang dewa katik, Dewaruci namanya. Tampak hanya sebagai anak kecil berjalan-jalan dan bermain-main di atas permukaan air.
Walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena:
‘Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila masuk dalam gua-garbaku!’.
Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam Islam baku yang monoteistis. Dalam pandangan monoteistis, Tuhan adalah maha besar dan maha kuasa, manusia hanyalah makhluk yang tidak berarti dihadapan kekuasaan Tuhan.
Sebagai sebuah pengalaman teologis, kisah Dewaruci di mata orang Jawa yang Islam merupakan sebuah kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk memandang dan menafsirkan berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran yang islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam.
Cerita Dewaruci memang sangat dekat dengan konsep teologi dalam Islam mitis yaitu konsep manunggaling kawula gusti. Faham ini adalah faham ‘serba Esa’, wujud hanya satu, wujud Tuhan adalah wujud manusia. Konsep teologis dalam kisah Dewaruci tak jauh beda dengan Ana’l Haq-nya Al-Hallaj, Wihdatul-wujud-nya Ibnu arabi. Ajaran ini di Jawa terkait dengan tokoh Syeh Siti Jenar.

2. Taraf Kosmologis-kosmogonis
Kosmogoni dan kosmologi adalah serangkaian konsep dan pandangan mengenai asal-usul alam semesta dan manusia. Agami Jawi mengenal beberapa konsep penciptaan. Salah satu konsep penciptaan yang menampakkan proses sinkretis antara Islam dan Hindu terdapat dalam kitab-kitab babad. Kisah-kisah penciptaan ini bersifat setengah historis. Dalam kisah ini terjadi perpaduan konsep penciptaan dalam Hindu yang berkisar pada kisah Brahma-Wisnu dan konsep penciptaan dalam Islam yang berkisar pada kisah Adam.
Dalam salah satu versi babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa silsilah para raja Jawa berasal dari Nabi Adam. Menurut alurnya, Nabi Adam menurunkan nabi Sis. Nabi Sis kemudian memiliki putra bernama Nur Cahya. Nurcahya menurunkan Nurasa. Dari Nurasa lahirlah Sang Hyang Wening, yang kemudian menurunkan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang tunggal memiliki putra bernama Batara Guru dan Batara Guru memiliki lima putra yaitu Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu dan Dewi Sri.
Dari Batara Brahma inilah raja-raja Jawa berasal. Batara Brahma menurunkan tokoh-tokoh terkenal dalam dunia pewayangan yaitu Begawan Abiyasa, Pandudewanata, Arjuna, Abimanyu, dan Parikesit. Yang terakhir ini, yaitu Parikesit mempunyai putra yaitu Yudayana dan Gendrayana. Gendrayana inilah yang menurunkan raja Jayabaya. Dari raja Jayabaya inilah lahir raja-raja Jawa.
Versi lain juga bisa ditemui dalam salah satu kisah babad. Dalam babad tersebut dikisahkan bahwa Brahma adalah pencipta bumi dan Wisnu pencipta manusia. Pada mulanya Brahma telah berusaha mencipta manusia tetapi selalu gagal. Karena gagal maka Brahma menyuruh wisnu untuk turun ke bumi. Wisnu berusaha menciptakan pengisi bumi. Pada mulanya tidak berhasil, tapi untuk yang kedua ia berhasil. Dikisahkan bahwa:
…Dengan tanah liat Wisnu membuat sebuah patung yang menyerupai dirinya, yang kemudian diisinya dengan energi yang terdiri dari jiwa dan semangat (suksma) akan tetapi ia lupa memasukkan nafas (prana) ke dalamnya, dan karena itu makhluk ciptaannya itu kemudian hancur lebur berantakan menjadi beribu-ribu keeping setelah kejang-kejang beberapa saat. Jiwa dan suksma yang berada dalam tubuh makhluk itu kemudian menghilang ke dalam kegelapan dan menjadi hantu-hantu jahat yang selalu mengganggu alam dewata. Wisnu berusaha untuk yang kedua kalinya, dan karena telah berpengalaman, ia menciptakan makhluk yang lebih tampan, yang diisinya dengan unsur-unsur yang diperlukan. Kali ini ia berhasil dan manusia pertama itu dinamakan Adina (Adam).
Dalam kisah kosmologis dan kosmogonis terjadi pertalian genealogis antara figur-figur Hindu, seperti Brahma dan Wisnu dengan figur Islam, yaitu Adam, serta figur Jawa, yaitu raja Jayabaya. Kisah komologis dan kosmogonis ini tidak sedang merepresentasikan kebenaran logis dan empiris tetapi kebenaran imajinatif, yaitu ada sesuatu yang ingin dicapai, yaitu keselarasan antara Hindu, Islam, dan Jawa sebagai unsur-unsur yang tidak saling bertentangan, tetapi saling menyokong keselarasan. Kisah ini tentu berbeda dengan kisah penciptaan Adam sebagai manusia pertama di dalam Islam baku yang tidak terkait sama sekali dengan dewa-dewa di dalam bentuk apapun. Penciptaan Adam berlangsung dalam proses kreasi Tuhan dan tidak keterkaitan historis apapun dengan para dewa-dewa Hindu.
3. Taraf Eskatologis
Eskatologi adalah serangkaian pandangan yang menyangkut keyakinan akan peristiwa pada hari-hari yang akan datang setelah kehidupan di dunia ini. Dalam setiap agama, keyakinan akan adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia ini merupakan ajaran pokok. Justru yang membedakan antara keyakinan religius dan non-religius antara lain terletak dalam keyakinan adanya kehidupan di hari nanti.
Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) atau yang disebut dengan lelembut, yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Makhluk halus itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat itu, dan saat-saat tertentu keluarganya mengadakan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh menuju alam roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun roh dapat dihubungi setiap saat bila diperlukan.
Pengaruh Islam menciptakan pada orang Jawa konsep mengenai dunia roh yang berada di dekat Allah; juga bahwa orang yang meninggal oleh Allah akan diberi tempat di swarga atau di neraka sesuai dengan perilakunya yang baik dan yang buruk semasa hidupnya. Walaupun demikian kebanyakan penganut Agami Jawi tidak memiliki gambaran yang nyata mengenai swarga atau neraka itu.
Menurut serat kadilangu dan serat wali sanga, seperti yang dipaparkan Koentjaraningrat, orang yang meninggal dalam rangka menuju kesempurnaan dan terlepas dari mata rantai reinkarnasi harus telah melepaskan diri dari segala hasrat dan keinginan duniawi. Perjalanan ruh untuk menuju surga memerlukan tahapan-tahapan sampai sungguh-sungguh jiwanya terlepas dari segala hasrat duniawi untuk kemudian bisa masuk surga. Tahapan ini merupakan tahapan perubahan dari tubuh yang memiliki hasrat yang disebut dengan lengaslira (makhluk halus) sampai dengan tahap moksa (kesempurnaan) yang memerlukan tahapan waktu antara 40 hari, 100 hari sampai dengan 1000 hari.
Walau telah menempuh perjalanan dalam alam roh, kerabat yang masih hidup di dunia bisa memanggilnya. Dan bila dipanggil maka roh yang dalam perjalanan tersebut akan menjadi lelembut, dan berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia atau menjadi roh nenek moyang (arwah leluhur) yang menetap di sekitar keluarga dan keturunan sebagai roh penjaga.
Dalam konteks ini, sinkretisasi terjadi melalui konsep ruh. Nampaknya keyakinan roh dalam tradisi animisme-dinamisme sangat kuat mewarnai pada Agami Jawi dalam memaknai peristiwa-peristiwa eskatologis. Dr. Simuh membedakan dua jenis pandangan tentang Ruh, yaitu ajaran ruh aktif dan ruh pasif. Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan ruh dan daya ghaib yang bersifat aktif. Simuh menyatakan bahwa:
Prinsip ruh aktif menurut kepercayaan animisme adalah bahwa ruh orang yang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan atau mensejahterakan manusia. Dunia ini dihuni oleh berbagai macam ruh gaib yang bisa membantu dan mengganggu kehidupan manusia. Seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib tersebut di atas…
Sementara itu Islam menurut Simuh mengajarkan prinsip ruh pasif. Prinsip tauhid menegaskan bahwa ruh manusia di alam kubur akan merasakan penderitaan bila amalnya buruk, dan akan mendapat nikmat jika amalnya baik. Ruh manusia yang telah mati menjadi pasif dan tidak bisa menolong dirinya sendiri apalagi orang lain. Tidak ada daya gaib dan kuasa ruh lain yang bisa berpengaruh secara aktif. Segala kuasa ruhani berpusat pada Allah.
Berdasarkan dua kategori ini, nampaknya Agami Jawi lebih dekat dengan ajaran ruh aktif. Agami Jawi meyakini bahwa ruh orang yang telah meninggal masih memiliki hubungan dengan proses kehidupan di dunia ini.


B. Tingkat Sistem Ritual
1. Slametan
Seperti dikatakan oleh Simuh bahwa seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib. Fenomena ini memiliki kemiripan dengan fenomena ritual dalam Agami Jawi, terutama Slametan. Slametan atau wilujengan merupakan suatu upacara terpenting dari semua ritus yang ada dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya.
Ritual slametan bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu yang tidak bersifat keagamaan dan yang bersifat keagamaan. Slametan yang tidak bersifat keagamaan tidak menimbulkan getaran emosi pada orang yang mengadakannya. Biasanya jenis slametan ini lebih ditujukan untuk memelihara rasa solidaritas sosial dan menciptakan suasana damai atau sekedar sebagai sebuah perayaan biasa saja. Sementara itu ritual slametan yang bersifat keagamaan bersifat keramat. Slametan yang bersifat keramat bisa disaksikan dari rangkaian upacara slametan untuk upacara kematian yaitu pada hari ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, dan ke seribu.
Ritual slametan ini memang berjenis-jenis, ada yang untuk upacara peringatan orang yang telah meninggal, bersih-dhusun, awal musim cocok tanam, upacara hari-hari besar Islam, ngruwat, kaul, pindah rumah, dan sebagainya. Ritual ini tidak ada di dalam Islam baku. Sinkretisasi terjadi ketika di dalam ritual slametan biasanya diisi dengan dzikir atau doa-doa yang disampaikan atau dipimpin oleh seorang modin atau kaum.

2. Nyadran
Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.
Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono Kamajaya, telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati para arwah leluhur juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar Jawa. Modus mereka untuk menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati Tribuwana atau Rajapatni, yang dipimpin para bikshu budha. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah dimulai bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September).
Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga, yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila dalam tradisi Jawa Kuno upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau Sya’ban.

3. Tirakat
Salah satu ritual yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.
Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari. Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus cahaya.
Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata, seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.












BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibagi menjadi Islam Abangan dan Islam Santri
2. Islam Abangan atau Agami Jawi merupakan satu bentuk religiusitas sinkretis yang dibentuk berdasarkan unsur-unsur Islam, religi animisme-dinamisme, dan Hindu-Budha.
3. Sinkretisme terjadi bisa dilihat pada dua wilayah yaitu pada sistem keyakinan yang terdiri dari unsur teologis, kosmologis-kosmogonis, eskatologis, dan pada sistem ritual, di antaranya ritual slametan, nyadran, dan tirakat.










DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, Heddy Shri, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa, Makalah Seminar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta & Kantor DepDikNas DIY
Bakker, J.W.M, 1976, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Puskat
Darusuprapta, dkk., 1985-1986, Ajaran Moral dalam Sastra Suluk, Yogyakarta, Fak. Sastra UGM.
Darusuprapta, 1985, Serat Wulang Reh, Surabaya: CV. Citra Jaya.
Dick Hartoko, 1987, Tonggak Perjalanan Budaya sebuah Antologi, Yogyakarta; Kanisius.
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta
Muchtarom, Zaini, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: Jilid II, INIS
Partokusumo, Karkono Kamajaya, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta
Robson, 1979, Pengkajian Sastra Tradisionil dam Bahasa dan Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sartono Kartodirdjo, 1975, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Dep. P dan K.
Sedyawati, Edy, et al, 1993, Sejarah Kebudayaan Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press
Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Bandung: Mizan
Simuh, 1986, Nilai Mistik dalam Kebudayaan dan Kepustakaan Jawa, Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 1986.
Yasadipoera, 1984, Cerita Dewaruci, diindonesiakan oleh S.P. Adhikara, Bandung: Penerbit ITB
Zuetmulder, P.J, 1990, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar