Kamis, 31 Desember 2009

AGAMI JAWI RELIGIUSITAS ISLAM SINKRETIS

AGAMI JAWI
RELIGIUSITAS ISLAM SINKRETIS
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dari Mata Kuliah Pendekatan Studi Islam

Dosen Pengampu :
DR. Ilman Nafi’ah, M.Ag








Disusun oleh:
TUKHROJIN


PASCASARJANA STAIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
CIREBON
2009


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hampir sudah menjadi kesepakatan di kalangan studi Jawa, bahwa berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu Islam Santri dan Islam Abangan. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual. Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda.
Berdasarkan sistem kepercayaan, yang disebut dengan Islam Santri adalah sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama, dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku syirik. Sedangkan Islam abangan adalah sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Sementara itu, berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam Santri lebih beorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam secara baku seperti shalat, puasa, ibadah haji, mengaji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, ngruwat, tirakat, sesajen, dan sebagainya.
Melihat latar belakang masalah diatas maka pemaklah akan merumuskan makalah yaitu sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konteks Kemunculan Agami Jawi ?
2. Bagaimana Tingkat Sistem Keyakinan ?
3. Bagaimana Tingkat Sistem Ritual ?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh data tentang :
1. Konteks Kemunculan Agami Jawi
2. Tingkat Sistem Keyakinan
3. Tingkat Sistem Ritual














BAB II
URAIAN PEMBAHASAN MAKALAH

A. Konteks Kemunculan Agami Jawi
Agami Jawi seperti yang disinyalir Koentjaraningrat sering disebut dengan Islam sinkretis. Yang dimaksud sinkretis secara umum adalah proses ataupun hasil dari pengolahan, penyatuan, pengkombinasian dan penyelarasan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru, yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya. Dengan adanya proses sinkretis maka apa yang terkandung di dalam sebuah sistem prinsip baru tidak hanya terkandung sistem prinsip asli agama yang bersangkutan tetapi juga sistem prinsip dari unsur lain. Demikian juga yang terjadi dengan Agami Jawi.
Dengan kata lain, sikap sinkretis adalah
Suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya sesuatu agama. Yakni suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan.
Kemunculan Agama Jawi bukan proses yang berlangsung dalam ruang yang kosong. Tetapi proses ini terjadi di dalam sebuah logika dialektika budaya ketika satu prinsip bertemu dengan prinsip yang lain dalam dimensi sejarah. Proses dialektika akan selalu menghasilkan sintesis-sintesis baru yang kadang tak terduga atau tidak direncanakan sebelumnya. Faktor yang paling menonjol dalam proses sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak.
Secara historis, Islam yang mula-mula berkembang di Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya adalah Islam yang dibawa oleh orang-orang Persia dan India melalui jalur perdagangan yang sangat kental dengan tradisi mistik. Islam mitis lebih berorientasi pada dimensi esoteris (batin) dibanding dimensi eksoteris (lahir). Ini berbeda dengan Islam yang datang pada gelombang kedua yaitu Islam reformis yang dibawa oleh para haji yang pulang dari Makkah. Islam reformis sebagai bagian dari gerakan wahabi yang sangat populer di tanah Arab yang sangat menentang keras kepercayaan-kepercayaan yang dianggap sebagai tahayul, kurafat atau bid’ah. Bentuk Islam mitis lebih menampakkan wajah lunak ketika bertemu dengan agama lokal, yaitu tradisi agama asli (animisme dan dinamisme) dan Hindu-Budha.
Sebelum hadir agama-agama supra-nasional seperti Hindu, Budha, Islam, Katolik atau Kristen, bangsa Indonesia telah hidup dalam sebuah alam religius yang sering disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme. Oleh J.W.M. Bakker, kepercayaan purba ini disebut dengan agama asli atau otokton. Agama ini disebut asli karena berasal dan berakar dalam tradisi dan kultur setempat yang tidak diketahui secara pasti kapan munculnya dan siapa pendirinya.
Agama asli ini tidak memiliki sistem sejelas agama supra-nasional. Ia mengandung beberapa unsur ajaran mengenai prinsip teologis, eskatologis atau pun kosmologis. Namun demikian unsur-unsur bukan merupakan sistem ajaran yang ketat dan sistematis. Secara teologis kepercayaan ini mengajarkan ketuhanan etis, seperti yang maha baik, atau ketuhanan kosmis, seperti sangkan paraning dumadi. Secara kosmologis, kepercayaan ini mengajarkan tentang keseimbangan dunia mikrokosmos dan makrokosmos. Sedangkan secara eskatologis, kepercayaan ini memiliki ajaran tentang ruh aktif. Agama asli ini memiliki kekuatan yang relatif kokoh ketika berhadapan dengan agama-agama supra nasional. Bahkan agama asli ini tetap bisa eksis entah dalam bentuk sinkretisme, pemalsuan atau pemribumisasian agama-agama supra nasional.
B. Tingkat Sistem Keyakinan
1. Sinkretisme Teologis
Proses sinkretisme dalam Agami Jawi antara lain nampak dalam taraf teologis. Taraf ini menyangkut konsep Agami Jawi tentang Tuhan. Sumber representatif mengenai konsep Tuhan dalam Agami Jawi adalah kitab Nawaruci. Dalam kitab ini konsep dan pandangan Agami Jawi tentang Tuhan lebih bercorak panteistis dibanding monoteis. Tak dipungkiri konsep Tuhan panteistik ini lebih dekat dengan konsep-konsep dalam pemikiran Islam mitis dan Hindu-Budha dibanding dengan Islam formal.
Tuhan mitis dalam Agami Jawi memang lebih kental nuansanya dibanding dengan Tuhan syariat yang banyak menyebut Tuhan dengan sifat-sifat maha Kuasa, maha Perkasa, atau maha Tinggi. Tuhan mitis ini bisa dijumpai dalam Cerita Dewa Ruci karangan Yasadipoera yang bercerita tentang perjalan Bima Sena mencari air sejati kehidupan. Dalam salah satu bait dipaparkan:
Tanpa diketahui dari mana datangnya, Bima sekonyong-konyong berhadapan dengan seorang dewa katik, Dewaruci namanya. Tampak hanya sebagai anak kecil berjalan-jalan dan bermain-main di atas permukaan air.
Walaupun kecil, Dewaruci sekaligus yang maha Besar. Dewaruci adalah sosok yang menampung segala isi alam semesta. Dewaruci bertanya pada Bima Sena:
‘Mana yang lebih besar, kamu atau dunia seluruhnya dengan semua isinya termasuk gunung, samudera, dan hutan sekalipun. Dunia seisinya ini tidak akan sesak, apabila masuk dalam gua-garbaku!’.
Pandangan panteistis ini tentu berseberangan dengan konsep Tuhan dalam Islam baku yang monoteistis. Dalam pandangan monoteistis, Tuhan adalah maha besar dan maha kuasa, manusia hanyalah makhluk yang tidak berarti dihadapan kekuasaan Tuhan.
Sebagai sebuah pengalaman teologis, kisah Dewaruci di mata orang Jawa yang Islam merupakan sebuah kisah yang menjadi landasan yang kokoh untuk memandang dan menafsirkan berbagai ajaran dan filsafat yang terkandung di dalam pewayangan sebagai ajaran yang islami. Walaupun cerita tersebut mengambil konteks Hinduistis-Budhistis, hal tersebut tidak lagi begitu penting. Sebab semuanya hanya dilihat sebagai “baju” atau “wadah” yang tidak bertentangan dengan isi, yaitu Islam sendiri. Wujud luar boleh saja Hinduistis, tetapi roh-nya tetap Islam.
Cerita Dewaruci memang sangat dekat dengan konsep teologi dalam Islam mitis yaitu konsep manunggaling kawula gusti. Faham ini adalah faham ‘serba Esa’, wujud hanya satu, wujud Tuhan adalah wujud manusia. Konsep teologis dalam kisah Dewaruci tak jauh beda dengan Ana’l Haq-nya Al-Hallaj, Wihdatul-wujud-nya Ibnu arabi. Ajaran ini di Jawa terkait dengan tokoh Syeh Siti Jenar.

2. Taraf Kosmologis-kosmogonis
Kosmogoni dan kosmologi adalah serangkaian konsep dan pandangan mengenai asal-usul alam semesta dan manusia. Agami Jawi mengenal beberapa konsep penciptaan. Salah satu konsep penciptaan yang menampakkan proses sinkretis antara Islam dan Hindu terdapat dalam kitab-kitab babad. Kisah-kisah penciptaan ini bersifat setengah historis. Dalam kisah ini terjadi perpaduan konsep penciptaan dalam Hindu yang berkisar pada kisah Brahma-Wisnu dan konsep penciptaan dalam Islam yang berkisar pada kisah Adam.
Dalam salah satu versi babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa silsilah para raja Jawa berasal dari Nabi Adam. Menurut alurnya, Nabi Adam menurunkan nabi Sis. Nabi Sis kemudian memiliki putra bernama Nur Cahya. Nurcahya menurunkan Nurasa. Dari Nurasa lahirlah Sang Hyang Wening, yang kemudian menurunkan Sang Hyang Tunggal. Sang Hyang tunggal memiliki putra bernama Batara Guru dan Batara Guru memiliki lima putra yaitu Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Maha Dewa, Batara Wisnu dan Dewi Sri.
Dari Batara Brahma inilah raja-raja Jawa berasal. Batara Brahma menurunkan tokoh-tokoh terkenal dalam dunia pewayangan yaitu Begawan Abiyasa, Pandudewanata, Arjuna, Abimanyu, dan Parikesit. Yang terakhir ini, yaitu Parikesit mempunyai putra yaitu Yudayana dan Gendrayana. Gendrayana inilah yang menurunkan raja Jayabaya. Dari raja Jayabaya inilah lahir raja-raja Jawa.
Versi lain juga bisa ditemui dalam salah satu kisah babad. Dalam babad tersebut dikisahkan bahwa Brahma adalah pencipta bumi dan Wisnu pencipta manusia. Pada mulanya Brahma telah berusaha mencipta manusia tetapi selalu gagal. Karena gagal maka Brahma menyuruh wisnu untuk turun ke bumi. Wisnu berusaha menciptakan pengisi bumi. Pada mulanya tidak berhasil, tapi untuk yang kedua ia berhasil. Dikisahkan bahwa:
…Dengan tanah liat Wisnu membuat sebuah patung yang menyerupai dirinya, yang kemudian diisinya dengan energi yang terdiri dari jiwa dan semangat (suksma) akan tetapi ia lupa memasukkan nafas (prana) ke dalamnya, dan karena itu makhluk ciptaannya itu kemudian hancur lebur berantakan menjadi beribu-ribu keeping setelah kejang-kejang beberapa saat. Jiwa dan suksma yang berada dalam tubuh makhluk itu kemudian menghilang ke dalam kegelapan dan menjadi hantu-hantu jahat yang selalu mengganggu alam dewata. Wisnu berusaha untuk yang kedua kalinya, dan karena telah berpengalaman, ia menciptakan makhluk yang lebih tampan, yang diisinya dengan unsur-unsur yang diperlukan. Kali ini ia berhasil dan manusia pertama itu dinamakan Adina (Adam).
Dalam kisah kosmologis dan kosmogonis terjadi pertalian genealogis antara figur-figur Hindu, seperti Brahma dan Wisnu dengan figur Islam, yaitu Adam, serta figur Jawa, yaitu raja Jayabaya. Kisah komologis dan kosmogonis ini tidak sedang merepresentasikan kebenaran logis dan empiris tetapi kebenaran imajinatif, yaitu ada sesuatu yang ingin dicapai, yaitu keselarasan antara Hindu, Islam, dan Jawa sebagai unsur-unsur yang tidak saling bertentangan, tetapi saling menyokong keselarasan. Kisah ini tentu berbeda dengan kisah penciptaan Adam sebagai manusia pertama di dalam Islam baku yang tidak terkait sama sekali dengan dewa-dewa di dalam bentuk apapun. Penciptaan Adam berlangsung dalam proses kreasi Tuhan dan tidak keterkaitan historis apapun dengan para dewa-dewa Hindu.
3. Taraf Eskatologis
Eskatologi adalah serangkaian pandangan yang menyangkut keyakinan akan peristiwa pada hari-hari yang akan datang setelah kehidupan di dunia ini. Dalam setiap agama, keyakinan akan adanya kehidupan setelah kehidupan di dunia ini merupakan ajaran pokok. Justru yang membedakan antara keyakinan religius dan non-religius antara lain terletak dalam keyakinan adanya kehidupan di hari nanti.
Menurut Koentjaraningrat, orang Jawa umumnya berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) atau yang disebut dengan lelembut, yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Makhluk halus itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat itu, dan saat-saat tertentu keluarganya mengadakan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh menuju alam roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun roh dapat dihubungi setiap saat bila diperlukan.
Pengaruh Islam menciptakan pada orang Jawa konsep mengenai dunia roh yang berada di dekat Allah; juga bahwa orang yang meninggal oleh Allah akan diberi tempat di swarga atau di neraka sesuai dengan perilakunya yang baik dan yang buruk semasa hidupnya. Walaupun demikian kebanyakan penganut Agami Jawi tidak memiliki gambaran yang nyata mengenai swarga atau neraka itu.
Menurut serat kadilangu dan serat wali sanga, seperti yang dipaparkan Koentjaraningrat, orang yang meninggal dalam rangka menuju kesempurnaan dan terlepas dari mata rantai reinkarnasi harus telah melepaskan diri dari segala hasrat dan keinginan duniawi. Perjalanan ruh untuk menuju surga memerlukan tahapan-tahapan sampai sungguh-sungguh jiwanya terlepas dari segala hasrat duniawi untuk kemudian bisa masuk surga. Tahapan ini merupakan tahapan perubahan dari tubuh yang memiliki hasrat yang disebut dengan lengaslira (makhluk halus) sampai dengan tahap moksa (kesempurnaan) yang memerlukan tahapan waktu antara 40 hari, 100 hari sampai dengan 1000 hari.
Walau telah menempuh perjalanan dalam alam roh, kerabat yang masih hidup di dunia bisa memanggilnya. Dan bila dipanggil maka roh yang dalam perjalanan tersebut akan menjadi lelembut, dan berkeliaran di sekitar tempat tinggal manusia atau menjadi roh nenek moyang (arwah leluhur) yang menetap di sekitar keluarga dan keturunan sebagai roh penjaga.
Dalam konteks ini, sinkretisasi terjadi melalui konsep ruh. Nampaknya keyakinan roh dalam tradisi animisme-dinamisme sangat kuat mewarnai pada Agami Jawi dalam memaknai peristiwa-peristiwa eskatologis. Dr. Simuh membedakan dua jenis pandangan tentang Ruh, yaitu ajaran ruh aktif dan ruh pasif. Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan ruh dan daya ghaib yang bersifat aktif. Simuh menyatakan bahwa:
Prinsip ruh aktif menurut kepercayaan animisme adalah bahwa ruh orang yang mati tetap hidup dan bahkan menjadi sakti seperti dewa, bisa mencelakakan atau mensejahterakan manusia. Dunia ini dihuni oleh berbagai macam ruh gaib yang bisa membantu dan mengganggu kehidupan manusia. Seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib tersebut di atas…
Sementara itu Islam menurut Simuh mengajarkan prinsip ruh pasif. Prinsip tauhid menegaskan bahwa ruh manusia di alam kubur akan merasakan penderitaan bila amalnya buruk, dan akan mendapat nikmat jika amalnya baik. Ruh manusia yang telah mati menjadi pasif dan tidak bisa menolong dirinya sendiri apalagi orang lain. Tidak ada daya gaib dan kuasa ruh lain yang bisa berpengaruh secara aktif. Segala kuasa ruhani berpusat pada Allah.
Berdasarkan dua kategori ini, nampaknya Agami Jawi lebih dekat dengan ajaran ruh aktif. Agami Jawi meyakini bahwa ruh orang yang telah meninggal masih memiliki hubungan dengan proses kehidupan di dunia ini.


B. Tingkat Sistem Ritual
1. Slametan
Seperti dikatakan oleh Simuh bahwa seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib. Fenomena ini memiliki kemiripan dengan fenomena ritual dalam Agami Jawi, terutama Slametan. Slametan atau wilujengan merupakan suatu upacara terpenting dari semua ritus yang ada dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya.
Ritual slametan bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu yang tidak bersifat keagamaan dan yang bersifat keagamaan. Slametan yang tidak bersifat keagamaan tidak menimbulkan getaran emosi pada orang yang mengadakannya. Biasanya jenis slametan ini lebih ditujukan untuk memelihara rasa solidaritas sosial dan menciptakan suasana damai atau sekedar sebagai sebuah perayaan biasa saja. Sementara itu ritual slametan yang bersifat keagamaan bersifat keramat. Slametan yang bersifat keramat bisa disaksikan dari rangkaian upacara slametan untuk upacara kematian yaitu pada hari ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, dan ke seribu.
Ritual slametan ini memang berjenis-jenis, ada yang untuk upacara peringatan orang yang telah meninggal, bersih-dhusun, awal musim cocok tanam, upacara hari-hari besar Islam, ngruwat, kaul, pindah rumah, dan sebagainya. Ritual ini tidak ada di dalam Islam baku. Sinkretisasi terjadi ketika di dalam ritual slametan biasanya diisi dengan dzikir atau doa-doa yang disampaikan atau dipimpin oleh seorang modin atau kaum.

2. Nyadran
Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.
Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono Kamajaya, telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati para arwah leluhur juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar Jawa. Modus mereka untuk menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati Tribuwana atau Rajapatni, yang dipimpin para bikshu budha. Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah dimulai bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September).
Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga, yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila dalam tradisi Jawa Kuno upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau Sya’ban.

3. Tirakat
Salah satu ritual yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.
Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari. Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus cahaya.
Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata, seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.












BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan perilaku religiusnya, masyarakat Jawa bisa dibagi menjadi Islam Abangan dan Islam Santri
2. Islam Abangan atau Agami Jawi merupakan satu bentuk religiusitas sinkretis yang dibentuk berdasarkan unsur-unsur Islam, religi animisme-dinamisme, dan Hindu-Budha.
3. Sinkretisme terjadi bisa dilihat pada dua wilayah yaitu pada sistem keyakinan yang terdiri dari unsur teologis, kosmologis-kosmogonis, eskatologis, dan pada sistem ritual, di antaranya ritual slametan, nyadran, dan tirakat.










DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra, Heddy Shri, 1995, Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa, Makalah Seminar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta & Kantor DepDikNas DIY
Bakker, J.W.M, 1976, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Puskat
Darusuprapta, dkk., 1985-1986, Ajaran Moral dalam Sastra Suluk, Yogyakarta, Fak. Sastra UGM.
Darusuprapta, 1985, Serat Wulang Reh, Surabaya: CV. Citra Jaya.
Dick Hartoko, 1987, Tonggak Perjalanan Budaya sebuah Antologi, Yogyakarta; Kanisius.
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta
Muchtarom, Zaini, 1988, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta: Jilid II, INIS
Partokusumo, Karkono Kamajaya, 1995, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta
Robson, 1979, Pengkajian Sastra Tradisionil dam Bahasa dan Sastra, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sartono Kartodirdjo, 1975, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Dep. P dan K.
Sedyawati, Edy, et al, 1993, Sejarah Kebudayaan Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta: UI Press
Simuh, 2003, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, Bandung: Mizan
Simuh, 1986, Nilai Mistik dalam Kebudayaan dan Kepustakaan Jawa, Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa, 1986.
Yasadipoera, 1984, Cerita Dewaruci, diindonesiakan oleh S.P. Adhikara, Bandung: Penerbit ITB
Zuetmulder, P.J, 1990, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia.

METODE PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI

METODE PEMBELAJARAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI
Makalah
Oleh TUHROJIN










BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Subhanallah, maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Qur’an melalui Nabi Muhammad Rosulullah SAW, sebagai sumber ilmu dan penenang sekaligus sebagai obat bagi jiwa yang hampa ini.
Anak adalah amanah Allah kepada orangtua, dan sebagai orangtua kita dituntut memberikan pendidikan yang semaksimal mungkin, tentunya sebagai umat muslim kita memberikan pendidikan itu berusaha sejalan dengan pedoman dasar yang bersifat hakiki yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist.
Mencermati arus modern dewasa ini yang melanda seluruh masyarakat dunia, akibat pengaruh dari kemajuan teknologi dan informasi, tidak kecuali masyarakat muslim tentunya, diperlukan beberapa strategi untuk menyikapi kemajuan-kemajuan itu agar meminimalisir efek negatif dan memaksimalkan keuntungan positif sebagai instrumen untuk membekali anak didik menjadi pemimpin-pemimpin yang akan menguasai kecanggihan teknologi dan membekali dengan ketauhidan yang berakhir pada kualitas iman Islam.
Sebagai pendidik dan orangtua yang bertanggungjawab terhadap pendidikan anak-anaknya, maka diperlukan beberapa metode-metode pengembangan pembelajaran agama Islam yang harus dimiliki oleh pendidik agar dalam proses pendidikan itu menghasilkan generasi muslim yang mencerminkan nilai-nilai Islami baik sisi spiritual maupun mentalnya.



B. Analisis Permasalahan
Dengan pemahaman dan perenungan yang disampaikan di atas, maka timbullah beberapa pertanyaan yang hendak kami coba untuk menguraikan semampunya :
1. Apa pengertian dari metode ?
2. Macam-macam metode pembelajaran agama Islam pada anak usia dini ?
3. Bagaimana relevansi metode dengan tujuan pendidikan agama Islam pada anak usia dini ?
















BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian
Sesuai dengan kesepakatan para tokoh atau pakar pendidikan Islam, pendidikan anak dalam Islam adalah usaha yang dilakukan secara sadar dalam misi untuk mengarahkan, membina spiritual dan jasmani anak didik secara menyeluruh kearah yang lebih optimal dengan metode pengembangan pembelajaran agama Islam menuju terbentuknya pribadi muslim yang berakhlak mulia.
B. Landasan Religius
Anak terlahir membawa fitrahnya masing-masing dengan berbagai potensi yang dimilikinya (fisik, psikomotorik, intelegence, kemampuan bahasa, dll). Semua itu akan berkembang optimal apabila mendapat pengaruh atau stimulasi dari luar dirinya yang perlu ditumbuh kembangkan atau didikkan. Rasulullah SAW bersabda : “Setiap bayi yang terlahir dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam) maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya seseorang Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Bukhori) Melalui pendekatan metodologi pengembangan pembelajaran agama Islam pada anak usia dini akan menciptakan anak-anak yang mempunyai mental dan spiritual sesuai ajaran Islam untuk bekal kehidupannya yang mandiri dan berakhlak mulia, hal ini sesuai dengan misi kerasullan Nabi Muhammad SAW yaitu diutus Allah ke muka bumi tidak lain hanyalah untuk menyempurnakan akhlak mulia (Lii Utammimma Makarim Al Akhlak).






BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metode
Metode berasal dari bahasa Yunani “methodos” yang berarti cara atau jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah maka metode menyangkut cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan Jadi fungsi metode berarti sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sedangkan pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditujukan untuk membelajarkan siswa atau usaha-usaha yang terencana dalam proses belajar mengajar.
Wajib bagi seorang pendidik untuk menguasai sejumlah metode-metode dalam mengembangkan pembelajaran pada anak usia dini terutama tentang konsep ajaran agama Islam.
B. Macam-macam Metode
1. Metode Cerita
Mendidik anak dengan menggunakan metode bercerita (At Tarbiyah bi al-Qishah) adalah merupakan cirri khas yang dimiliki oleh Al Quran yaitu saat memaparkan cerita-cerita para Nabi dan orang-orang terdahulu dengan maksud untuk dijadikan sebagai peringatan atau pelajaran.
Sebagai ulama terdahulu berpendapat bahwa cerita merupakan salah satu senjata Allah SWT yang dapat meneguhkan hati para walinya ’’Dan semua kisah dari Rasul-rasul kami ceritakan kepada kamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu’’ (QS Huud:120)
Metode ini mempunyai pengaruh yang besar bagi jiwa dan akal, dan meningkatkan kecerdasan berfikir seorang anak sebab cerita tersebut memiliki keindahan dan kenikmatan tersendiri. Beberapa cara dalam memaparkan cerita :
a. Secara lisan dengan memperhatikan gerakan setiap tokoh dalam sebuah cerita tersebut. Cara ini dianjurkan untuk kalangan anak usia dibawah 4tahun.
b. Dengan memgunakan kaset seperti kaset-kaset cerita anak shaleh Dll. Cara ini cocok untuk kalangan usia 5-13 tahun.
c. Dengan menggunakan video seperti film Ar Risalah yang menceritakan kisah Nabi Muhammad SAW. Cara ini cocok untuk kalangan usia diatas 8 tahun.
d. Cerita-cerita dalam bentuk tulisan dan gambar, cara ini hanya untuk anak-anak yang bisa membaca.
Cerita sebelum tidur sangat penting bagi anak karena kehidupannya yang dipenuhi dengan khayalan, cerita tersebut akan melekat dalam ingatan anak sehingga tidak mudah dilupakan dan telah membaur atau menetap dalam pusat ingatan ketika tertidur. Dan seluruh cerita serta pesan moral yang diberikan akan tertanam kuat untuk sepanjang hayatnya. Karena orang tua hendaknya hati-hati dalam memilih cerita untuk anak.
2. Metode Tanya Jawab
Metode tanya jawab adalah caa guru mentransformasikan materi pelajaran melalui tanya jawab. Menurut teori Taksonomi Bloom ada 6 macam pertanyaan yang baik untuk dijadikan pedoman tanya-jawab yaitu :
a. Pertanyaan mengenai ingatan, memori, atau hafalan
b. Pertanyaan untuk mengecek pemahaman
c. Pertanyaan mengenai penerapan
d. Pertanyaan analisis
e. Pertanyaan kemampuan berfikir kreatif atau sintesis
f. Pertanyaan bersifat penilaian atau evaluatif yang dilakukan di akhir proses belajar, atau dengan istilah Post test.

Kelebihan dari metode tanya jawab adalah :
a. Situasi kelas akan hidup karena para siswa aktif dengan berbicara / mejawab pertanyaan
b. Melatih para siswa untuk berani mengungkapkan pendapat lisan secara teratur
c. Merangsang para siswa untuk melatih dan mengembangkan daya ingatan
3. Pemberian Tugas (Resitasi)
Metode ini merupakan suatu cara dalam proses belajar mengajar, dimana guru memberi tugas tertentu dan siswa mengerjakannya, kemudian tugas tersebut dipertanggungjawabkan kepada guru Syarat-syarat pemberian tugas adalah sebagai berikut :
a. Tugas yang diberikan harus berkaitan dengan pelajaran yang telah mereka pelajari
b. Guru harus dapat mengukur dan memperkirakan bahwa tugas yang diberikan kepada siswa akan dapat dilaksanakannya sesuai dengan kesanggupan dan kecerdasan yang dimilikinya
c. Guru harus menanamkan kepada siswa bahwa tugas yang diberikan kepada mereka akan dikerjakan atas kesadaran sendiri yang timbul dari hati sanubarinya
d. Jenis tugas yang diberikan kepada siswa harus dimengerti benar-benar, sehingga murid tidak ada keraguan dalam melaksanakannya
Metode ini bertujuan untuk :
 Melatih para siswa untuk bertanggung jawab terhadap tugasnya
 Menanamkan rasa responsibility terhadap proses pembelajaran
 Melatih psikometer dan keterampilan tertentu
 Menanamkan kebiasaan belajar tanpa diberi tugas, tekun dan semangat belajar untuk masa depan


4. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara pembelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukkan sesuatu di hadapan siswa untuk memperjelas pengertian, misalnya cara salat, tayammum, dan lain-lain. Secara psikhodegagogis manfaat metode demonstrasi sebagai berikut :
a. Dapat mempertinggi perhatian dan kekhusukan peserta
b. Keaktifan mereka termotivasi karena seluruh panca indera berfungsi dan mempercepat penguasaan ilmu dan keterampilan yang diajarkan
Memperkecil verbalisme pada diri para siswa
Kelebihan dari metode demonstrasi yakni :
a. Perhatian siswa akan dapat terpusat sepenuhnya pada apa yang didemonstrasikan.
b. Memberikan pengalaman praktis yang dapat membentuk ingatan yang kuat dan keterampilan dalam berbuat.
c. Hal-hal yang menjadi teka-teki siswa dapat terjawab melalui demonstrasi.
Kelemahan metode demonstrasi yaitu :
a. Persiapan dan pelaksanaan memakan waktu yang lama.
b. Metode ini akan tidak efektif bila tidak ditunjang dengan peralatan yang lengkap sesuai dengan kebutuhan.
c. Sukar dilaksanakan bila siswa belum matang kemampuannya dalam melaksanakan .
5. Metode Bermain Peran
Metode ini dapat merangsang jiwa belajar peserta didik dan melihat atau mereka langsung aktif dalam kelas, misalnya tentang salat berjamaah; ada muadzin, jamaah, imam, dalam hal ini, guru tinggal mengawasi dan mengoreksinya
Dampak psikologis dan pedagogis dari metode ini adalah sebagai berikut :
a. Menimbulkan rasa tanggung jawab masing-masing untuk berhasilnya peran mereka
b. Mempererat kedekatan diantara mereka
c. Guru dan para siswa dapat bekerjasama dalam membicarakan pokok bahasan yang disepakati untuk diperankan
Dalam metode ini, guru sangat dituntut untuk menguasai kompetensi pembelajaran, yaitu :
 Menguasai materi
 Mampu mengelola program belajar mengajar
 Mampu mengelola kelas
 Mampu menggunakan media dan sumber belajar
 Mampu menggunakan landasan kependidikan
 Mampu mengelola intraksi belajar mengajar
 Mampu menilai prestasi peserta didik
 Mampu mengenali fungsi program bimbingan dan penyuluhan
 Mampu menyelenggarakan administrasi sekolah
 Mampu menguasai prinsip-prinsip penelitian
Untuk dapat melakukan 10 point tersebut, guru dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas diri dengan cara meningkatkan; kompetensi akademik, kepribadian dan kompetensi sosial
6. Metode Lagu
Metode lagu adalah metode yang sangat efektif untuk diterapkan dalam pengajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) pada anak usia prasekolah khususnya di TK Islam.
Metode lagu diterapkan menggunakan dua cara yaitu :
a. Secara lisan
b. Menggunakan kaset dan diiringi dengan gerakan tari
Manfaat lagu di TK antara lain : kaset dan tape recorder, guru yang ahli dalam menyanyi dan menari, dan suara merdu dari guru. Sedangkan faktor yang menghambat antara lain :
a. kondisi anak, kondisi guru dan kondisi lingkungan.
b. Media yang digunakan dalam penerapan metode lagu adalah kaset dan tape recorder. Adapun manfaat metode lagu dalam pengajaran Pendidikan Agama Islam di TK antara lain :
a. Mengenai ajaran Agama Islam sejak usia dini
b. Mampu menghafal materi PAI dengan cepat dan mudah
c. Menanamkan jiwa keberagaman pada anak
d. Anak lebih cepat menyerap dan memahami makna agama
e. Menggugah perasaan dan emosi anak dalam belajar tanpa harus ada unsur paksaan
f. Mampu mengamalkan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.
7. Metode Disiplin
Metode disiplin merupakan suatu proses bimbingan yang bertujuan menanamkan pada prilaku tertentu, kebiasaan-kebiasaan tertentu atau membentuk manusia dengan ciri-ciri tertentu. Terutama untuk meningkatkan kualitas mental dan moral (Sukadji 1988) di dalam keluarga pendidikan disiplin dapat diartikan sebagai metode bimbingan orangtua agar anaknya mematuhi bimbingan tersebut. Setiap orangtua pasti berusaha untuk mengajarkan disiplin kepada anak-anaknya dengan menanamkan prilaku yang dianggap baik dan menghindari prilaku yang dianggap tidak baik
8. Metode Keteladanan
Metode keteladanan adalah satu metode pembelajaran yang dianggap besar pengaruhnya. Segala yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam kehidupannya merupakan cerminan kandungan Al-Qur’an secara utuh, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab 133:21.
Orangtua atau pendidik adalah figur yang terbaik dalam pandangan anak yang segala tingkah lakunya sadar atau tidak sadar ditiru oleh mereka atau akan tertanam dalam pribadi mereka, maka dari itu kita sebagai pendidik atau orangtua pada khususnya mencontohkanlah yang baik bagi anak-anak kita baik di rumah maupun di sekolah, selain mencontoh prilaku kita tanamkan juga teladan bagi anak-anak teladan yang baik seperti Rasulullah dan orang alim lainnya.
Rasulullah SAW mempresentasikan dan mengekspresikan apa yang ingin diajarkan melalui tindakannya dan kemudian menerjemahkan tindakannya ke dalam kata-kata. Bagaimana memuja Allah SWT, bagaimana duduk dalam salat dan doa, bagaimana makan, bagaimana tertawa dan lain sebagainya menjadi acuan bagi para sahabat.
C. RELEVANSI METODE DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN
Islam merupakan syariat Allah yang diturunkan kepada umat manusia dimuika bumi agar mereka beribadah kepada-Nya. Tujuan pelaksanaan syariat ini menuntut adanya pendidikan manusia. Pendidikan disini adalah pendidikan Islam. Syariat Islam hanya dapat dilaksanakan dengan mendidik diri, generasi dan masyarakat supaya beriman dan Islam juga merupakan petunjuk jalan yang benar dan lurus bagi manusia, untuk mencapai ridho Allah dan bukan jalan yang dimurka-Nya. Dengan demikian berarti Islam memberikan pelajaran kepada manusia mengenai cara menjalani dan menjalankan hidup dan kehidupan yang baik dan benar untuk mencapai keberuntungan di dunia dan akhirat.
Oleh sebab itu, pendidikan Islam menjadi kewajiban orangtua dan guru untuk disampaikan ke generasi berikutnya dengan metode-metode pengembangan pembelajaran melalui pendekatan ajaran agama yang sangat relevan sekali dengan tujuan pendidikan dalam Islam karena pendidikan Islam merupakan kebutuhan manusia sebagai makhluk pendagogis yang dididik sehingga mampu menjadi khalifah di bumi.
Pengajaran melalui metode-metode kepada anak usia dini juga disesuaikan dengan perkembangan aspek-aspek psikologisnya, yang diantaranya adalah perkembangan kemampuan berfikir (kognisinya) karena anak usia dini merupakan masa pertumbuhan yang paling peka dan sekaligus paling sibuk.
Pentingnya pendidikan yang diberikan menurut pendekatan yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran yang memusatkan perhatian pada anak. Sebab anak merupakan dambaan bagi setiap orangtua atau pendidik yang pada akhirnya akan berguna bagi bangsa, negara dan terciptanya muslim hakiki. Melihat peran yang begitu vital, maka penerapan metode yang efektif dan efisien adalah sebuah keharusan agar tujuan pendidikan dapat tercapai, dengan harapan proses belajar mengajar akan berjalan menyenangkan dan tidak membosankan.















BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode adalah cara atau jalan yang ditempuh sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Macam-macam metode :
 Metode cerita
 Metode tanya jawab
 Metode pemberian tugas
 Metode demonstrasi
 Metode bermain peran
 Metode lagu
 Metode disiplin
 Metode ketaladan
Relefansi metode dengan tujuan pendidikan sesuai dengan tujuan syariat Islam supaya beriman kepada Allah SWT untuk mencapai keberuntungan di dunia dan akhirat.
Pemberian metode itu disesuaikan dengan perkembangan aspek-aspek psikologisnya. Dengan harapan proses belajar mengajar akan berjalan menyenangkan dan tidak membosankan.
B. Saran
Sebagai seorang guru kita dituntut agar dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk lebih berkembang. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik harus menguasai kemampuannya dalam mengelola kelas. Dengan demikian ia harus mempunyai strategi pembelajarannya. Dan alat pembelajaran dimaksud adalah metode-metode terutama tentang pendidikan agama Islam untuk anak usia dini
Sebelum memberikan metode-metode tersebut terlebih dahulu guru / pendidik menguasainya dengan belajar keagamaan, perkembangan anak agar metode yang diberikan tidak terlalu sulit sesuai dengan tahap usianya dan mencoba mempraktekkan metode-metode yang dikuasainya, serta ikhlas dalam mengajarkannya demi kemajuan anak didik.

















DAFTAR PUSTAKA

 Prof. Dr. H. Aminuddin Rasyad Judul Buku : Teori Belajar dan Pembelajaran
Penerbit : UHAMKA Press & Yayasan PEP EX8
 Hj. Masyitoh Ch, dkk Judul Buku : Paradigma Baru Dalam Pendidikan
Penerbit : Zikrul Hakim
 http://mail.geogle.com/maiL
 by, students from UMJ , PG-PAUD, smester III
 Pupuh Fathurrahman, 2001. Strategi Belajar Mengajar,Bandung, Tunas Nusantara.
 Hatimah. 2000. Strategi dan Metode Pembelajaran, Bandung : ANDIRA
 Mahmud dan Tedi Priatna. 2005. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung : SAHIFA
 Abuy Sodiqin dan Badruzaman. 2004. Metodologi Studi Islam, Bandung : Insan Mandiri.
 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zein. 1996. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta.
 M Sobry Sutikno. 2005. Pembelajaran Efektif, Mataram, NTP Press.
Muhibbin Syah. 1995. Psikologi Pendidikan, Bandung, Rosda Karya.

Rabu, 30 Desember 2009

Bagaimana Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an (Analisis Filsafat Ilmu)

Bagaimana Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an
(Analisis Filsafat Ilmu)
Oleh :
TUHROJIN


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Ide tentang integrasi keilmuan Islam di kalangan para pemikir pendidikan Islam di Indonesia selama ini dipandang masih berserakan dan belum dirumuskan dalam suatutipologi pemikiran yang khas, terstruktur, dan sistematis. Bahkan transformasi beberapa IAIN/STAIN menjadi UIN pun dipandang belum menggambarkan peta pemikiran keilmuan Islam, baik di Indonesia maupun di dunia Islam pada umumnya; baik masa klasik maupun kontemporer. Itulah sebabnya berbagai gagasan integrasi keilmuan, termasuk juga kristalisasinya dalam bentuk transformasi IAIN/STAIN menuju UIN menjadi penting untuk membangun suatu tiplogi atau pemikiran tentang integrasi keilmuan Islam.
Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dualisme atau dikhotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmuilmu agama di sisi lain. Dikhotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikhotomi institusi pendidikan—antara pendidikan umum dan pendidikan agama—telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern1. Dikhotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.
Dengan melihat latar belakang diatas maka pemakalh akan mencoba merumuskan makalahnya yaitu sebagai berikut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an ?
2. Bagaimana Integrasi Keilmuan Ke-Islam-an ?
3. Apa Perbedaan Sains Islam dengan Sains Barat ?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsepsi tentang Ilmu-ilmu Ke-Islam-an
Berusaha memahami konseps ilmu-ilmu ke-Islam-an, pertama-tama harus dilacak terlebih dahulu pengertian dan hakikat ilmu secara umum. Pengertian dan hakikat ilmu sejak lama menjadi bahan polemik di kalangan filosof dan ilmuwan. Bahkan dalam konteks bahasa Indonesia, istilah "ilmu" seringkali dikacaukan dengan istilah "pengetahuan". Itulah sebabnya menjadi tidak mudah memberikan definisi "ilmu". Yuyun Suriasumantri, mengartikan ilmu sebagai pengetahuan yang memiliki dengannya bagaimana mengetahui cara beribadah sebenar-benarnya lagi pula apa-apa yang diharapkan bermuamalah (bermasyarakat) lagi pula apa-apa yang dihalalkan. Kedua, ilmu pengetahuan fardhu kifâyah. Adapun ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah ialah setiap ilmu pengetahuan manakala suatu masyarakat tidak ada orang lain yang mengembangkan ilmu-ilmu itu, sehingga menimbulkan kesulitan-kesulitan dan kekacauan-kekacauan dalam kehidupan Al- Ghazali menyebutkan: "....bidang-bidang ilmu pengetahuan yang termasuk fardhu kifayah ialah, ilmu kedokteran, berhitung, pertanian, pertenunan, perindustrian, keterampilan menjahit, politik dsb. tiga karakteristik, yaitu: rasional, empiris, dan sistematis.1 Pengertian yang hampir sama diberikan oleh Amsal Bachtiar, yang menyatakan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secra empiris.
Dengan mempertimbangkan maksud dan tujuan penggunaan kata ilmu serta karakteristik yang dimilikinya, istilah ilmu merupakan padanan dari bahasa Inggris, "science". Ilmu yang berasal dari kata bahasa Arab, 'ilm ( علم ) adalah sinonim dengan "science" dalam bahasa Inggris. Itulah sebabnya Mulyadhi Kartanegara menyatakan:
Menurut saya, istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan istilah science dalam epistemologi Barat. Sebagaimana sains dalam epistemologi Barat dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam epistemologi Islam dibedakan dengan opini (ra'y). Sementara sains dipandang sebagai any organized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai "pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya". Dengan demikian, ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekadar opini, melainkan pengetahuan yang telah teruji kebenarannya.
Dalam terminologi Barat, ilmu atau science tiada lain adalah organizedknowledge atau organized body of knowledge, sebagaimana dikemukakan dalam Encyclopedia Wikipedia: Science refers to the organized body of knowledge concerning the physical world, both animate and inanimate, but a proper definition would also have to include the attitudes and methods through which this body of knowledge is formed; thus, a science is both a particular kind of activity and also the results of that activity.
Semua definisi ilmu atau science yang dikemukakan tersebut di atas, membedakan antara ilmu (science) dengan pengetahuan (knowledge). Kalau ilmu pada umumnya secara sederhana dimaknai sebagai organized knowledge atau pengetahuan yang terorganisasi, maka tidak demikian halnya dengan pengetahuan. Kata yang terakhir ini sejak lama menjadi objek pemikiran para filosof secara intens dan penuh perdebatan, bahkan sampai sekarang.
Tetapi pada umumnya, pengetahuan (knowledge) diartikan sebagai segala sesuatu atau keseluruhan yang diterima oleh indra manusia atau dengan menggunakan istilah Arthur Hays Sulzberger, pengetahuan (knowledge) adalah the sum or range of what has been perceived, discovered, or learned.
Dengan pengertian pengetahuan seperti itu, maka semua informasi yang dapat dipersepsi, dicari, dan dipelajari masuk dalam kategori pengetahuan. Namun demikian kebanyakan filosof membuat setidaknya tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh pengetahuan, yaitu beralasan (justified), benar (true), dan dapat dipercaya (believed). Dengan kriteria tersebut, tidak semua informasi dapat dikategorikan sebagai pengetahuan.

Oleh karena itu, maka ilmu (science) adalah bagian dari pengetahuan (knowledge). Ilmu hanya bagian dari pengetahuan, dan masih banyak jenis pengetahuan lain di luar ilmu. Lalu apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu Islam atau ilmu-ilmu ke- Islam-an?
Hakikat Ilmu-ilmu Ke-Islam-an Terhadap pertanyaan tersebut di atas, para pemikir berbeda pandangan. Namun yang perlu dipertegas, ilmu-ilmu ke-Islam-an dalam wacana akademik memiliki padanan kata "Islamic Science"1. Ilmu-ilmu ke-Islam-an sebagai "Islamic Science" setidaknya dimaknai dalam dua perspektif, yakni perspektif tradis atau kesejarahan dan perspektif filosofis. Dalam perspektif pertama berdiri para pemikir dan akademikus Barat dan sebagian kecil pemikir Muslim yang memaknai ilmu-ilmu ke-Islam-an sebagai ilmuilmu yang berkembang dalam tradisi umat Islam, sebagaimana ditemukan dalam Encyclopedia Wikipedia, di mana ilmu-ilmu ke-Islam-an diartikan sebagai: Islamic science is science in the context of traditional religious ideas of Islam, including its ethics and philosophy. A Muslim engaged in this field is called a Muslim scientist.2
Dalam pengertian ini, Islamic science adalah ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana yang dikenal dewasa ini seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Kalam, Tasawuf, dan lain-lain. Pandangan yang mereduksi ilmu-ilmu ke-Islam-an hanya terbatas pada ilmuilmu keagamaan sebagaimana yang kita kenal dewasa ini, juga dimiliki oleh sebagian pemikir Muslim. Muhammad Muhsin Khan, misalnya selalu menerjemahkan kata Arab ‘ilm sebagai ilmu-ilmu keagamaan (religious knowledge). Selain Muhammad Muhsin Khan, salah seorang pemikir Muslim lain, Ahmad Dallal juga mengartikan Islamic Science sebagai Arabic Science (ilmu-ilmu Arab)
Keyakinan sains Islam bahwa ia tidak bebas nilai memang bertentangan dengan keyakinan Barat yang secara tegas menyatakan bahwa sains bebas nilai (values free). Bahwa sains tidak bebas nilai memang banyak diyakini oleh para pendukung gagasan integrasi keilmuan melalui konsep Islamisasai ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge). Munawar Ahmad Anees, misalnya, menyatakan bahwa sains Islam bukanlah:
1. Sains yang diislamkan, karena epistemologi dan metodologinya adalah produk ajaran Islam yang tidak bisa direduksi ke dalam pandangan Barat yang sempit.
2. Reduktif, karena paradigma makro absolut Tauhid mengikat semua pengetahuan dalam sebuah kesatuan organik.
3. Anakronistik (menyalahi zaman), karena ia diperlengkapi dengan kesadaran masa depan yang disampaikan melalui sarana dan tujuan sains.
4. Dominan secara metalologis, karena ia mengizinkan pengembangan metode bebas secara mutlak di dalam nonma-norma Islam yang universal.
5. Terkotak-kotak, karena la meningkatkan polimathy yang bertentangan dengan spesialisasi disiplin ilmu yang sempit. Ketidakadilan, karena epistemologi dan metodologinya bermakna distribusi keadilan dengan sebuah konteks sosial yang pasti.
6. Sempit, karena nilai-nilai sains Islam yang tak dapat dipindahkan itu menjadi cermin dari image nilai-nilai Islam.
7. Ketidakseseraian secara sosial, lantaran "objektivitas subjektifnya" berada dalam konteks produk sains secara sosial.
8. Bucaillisme, oleh karena la adalah pikiran logika yang keliru.
9. Pemujaan, karena ia tidak membuat pengesahan epistemik terhadap Ilmu Gaib, Astrologi, Mistisisme dan ilmu-ilmu sejenisnya.

B. Hakikat Integrasi Keilmuan Ke-Islam-an
Menyusun dan merumuskan konsep integrasi keilmuan tentulah tidak mudah. Apalagi berbagai upaya yang selama ini dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi Islam, terutama di Indonesia, dengan cara memasukkan beberapa program studi ke- Islam-an diklaim sebagai bagian dari proses integrasi keilmuan. Dalam praktek kependidikan di beberapa negara, termasuk di Indonesia, integrasi keilmuan juga memiliki corak dan jenis yang beragam. Lagi pula merumuskan integrasi keilmuan secara konsepsional dan filosofis, perlu melakukan kajian filsafat dan sejarah perkembangan ilmu, khususnya di kalangan pemikir dan tradisi keilmuan Islam.
Untuk memberikan pemahaman yang memadai tentang konsep integrasi keilmuan, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memahami konteks munculnya ide integrasi keilmuan tersebut. Bahwa selama ini di kalangan umat Islam terjadi suatu pandangan dan sikap yang membedakan antara ilmu-ilmu ke-Islam-an di satu sisi, dengan ilmu-ilmu umum di sisi lain. Ada perlakukan diskriminatif terhadap dua jenis ilmu tersebut. Umat Islam seolah terbelah antara mereka yang berpandangan positif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an sambil memandang negatif yang lainnya, dan mereka yang berpandangan positif terhadap disiplin ilmu-ilmu umum sembari memandang negatif terhadap ilmu-ilmu ke-Islam-an.
Dari konteks yang melatari munculnya ide integrasi keilmuan tersebut, maka integrasi keilmuan pertama-tama dapat dipahami sebagai upaya membangun suatu pandangan dan sikap yang positif terhadap kedua jenis ilmu yang sekarang berkembang di dunia Islam.
Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah). Dalam pengertian yang lain, M. Amir Ali juga menggunakan istilah all correct theories are from Allah and false theories are from men themselves or inspired by Satan. Dengan pengertian yang hampir sama Usman Hassan menggunakan istilah "knowledge is the light that comes from Allah ".
Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Allah (tawhîd), sebagaimana dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, the arts and sciences in Islam are based on the idea of unity, whichh is the heart of the Muslim revelation.
Doktrin keesaan Tuhan, atau iman dalam pandangan Isma'il Razi al Faruqi, bukanlah sematamata suatu kategori etika. Ia adalah suatu kategori kognitif yang berhubungan dengan pengetahuan, dengan kebenaran proposisi-proposisinya. Dan karena sifat dari kandungan proposisinya sama dengan sifat dari prinsip pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika, dan estetika, maka dengan sendirinya dalam diri subjek ia bertindak sebagai cahaya yang menyinari segala sesuatu.
Ajaran al-tawhîd sebagai dasar dan sumber ilmu-ilmu ke-Islam-an memang diakui secara luas oleh para pemikir Muslim kontemporer. Dalam upaya mendefinisikan riilai-nilai pijakan sains Islam, sebuah seminar tentang "Pengetahuan dan Nilai" telah dilaksanakan di bawah perlindungan International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS) di Stockholm pada September 19815. Para peserta menyisakan sepuluh konsep Islami dan secara bersama-sama membentuk kerangka nilai sains Islam:
1. Tauhid (keesaan Allah);
2. Khilafah (kekhalifahan manusia);
3. Ibadala (ibadah);
4. `Ilm (pengetahuan);
5. Halal (diperbolehkan);
6. Haram (dilarang);
7. Adl (keadilan);
8. Zhulm (kezaliman);
9. Ishtishlah (kemaslahatan umum);
10. Dhiya (kecerobohan).
Lembaga sains Islam harus berkembang dengan mengambil nilai-nilai positif sebagaimana prinsip-prinsip petunjuk Islam dan dengan menentukan prioritas penelitiannya serta implementasi proyek atas dasar nilai-nilai tersebut. Fungsi nilai-nilai negative seperti haram, zhulm, dan dhiya ditegakkan untuk mempertahankan seluruh aktivitas sains dalam kerangka tolok ukur yang bisa diterima etika. Manakala batas-batas yang dibenarkan oleh sains Islam dilanggar, maka nilai-nilai negatif ini ditegakkan untuk mempertahankan etika masyarakat Islam.
Inti konsep paradigma sains Islam, sebagaimana yang dihasilkan dari seminar Stockholm tersebut di atas adalah Tauhid, khilafah, dan 'ibadah. Ketiga prinsip tersebut menjabarkan peran dan tujuan kehidupan manusia, membuat kehidupan manusia dan alam semesta menjadi lebih berarti. Ilmuwan Muslim dan lembaga-lembaga serta pusat sains Islam seharusnya memiliki tujt.ian utama meningkatkan keadilan dan kemaslahatan
manusia, sementara dalam waktu yang bersamaan mampu meredam atau menekan zhulm dan dhiya. Setiap program penelitian yang memungkinkan untuk diterapkan harus sepenuhnya ditinjau-ulang guna meyakinkan bahwa ia bukarrlah ketidakadilan secara ekonomi, sosial, atau budaya. Setiap usaha penelitian dan proyek yang destruktif (dalam arti secara fisik, sosial, ekonomi, budaya, spiritual dan lingkungan) harus dicegah, karena sains dan teknologi semacam ini dapat memancing pola konsumtif yang merajalela. Sekarang ini kita menyaksikan semacam teknologi yang liar dalam keterasingan dan dehumanisasi sebagian besar lapisan kemanusiaan. Ini merupakan karakteristik utama sains yang zalim atau tiranik yang mengakibatkan kerusakan sumber daya alam, manusia dan spiritual, maka di situlah muncul kecerobohan (dhiya). Seperti diungkapkan Ziauddin Sardar: Ketika model teoretis sains Islam ini memerlukan penanganan lebih jauh, maka jelaslah ia dapat membentuk landasan sebuah kebijaksanaan sains praktis bagi negara-negara Islam. Konsep Islam, seperti ditunjukkan oleh sejarah Islam dengan cemerlangnya, tidak hanya memiliki nilai analitis semata, tapi mereka juga pragmatis secara intrinsik. Tanpa mempraktikkan konsep kunci ini, tampaknya sulit bagi sebuah masyarakat, atau peradaban, untuk menyatakan bahwa ia adalah Islami. Dengan demikian, model sains Islam yang dikembangkan dalam seminar Stockholm memiliki nilai praktis yang kuat. Terlepas dari pembentukan kebijaksanaan sains bagi negara-negara Muslim, ia juga dapat digunakan sebagai kriteria untuk menguji keaslian dan isi sains Barat dan menentukan nilai yang berasal dari beragam komponen masyarakat Islam. Secara garis besamya, ia dapat digunakan sebagai kerangka acuan kritik sains modern—sebuah kritik yang sehanasnya menggarisbawahi fakta bahwa rasionalitas yang tidak manusiawi dari sains modern dapat dijinakkan, dengan sebuah visi ilmu pengetahuan yang lebih manusiawi rnenuju kemaslahatan umat manusia.

C. Perbedaan Sain Islam dengan Sains Barat.
Lalu, apa yang menjadi karakteristik dasar sains Islam (Islamic sciences) atau ilmu-ilmu ke-Islam-an, yang membedakannya dengan sains yang berkembang pada masyarakat modern? Terhadap pertanyaan ini, Nasim Butt, yang mengutip pandangan Ziauddin Sardar memberikan karakteristik-karekteristik dan ukuran-ukuran sains Islam yang berbeda dengan sains Barat, sebagai berikut: Ukuran Sains Barat:
1. Percaya pada rasionalitas.
2. Sains untuk sains.
3. Satu-satunya metode, cara untuk mengetahui realitas.
4. Netralitas emosional sebagai pr-asyarat kunci menggapai rasionalitas.
5. Tidak memihak, seorang ilmuwan harus peduli hanya pada produk pengetahuan baru dan akibat-akibat penggunaannya.
6. Tidak adanya bias, validitas pernyataan-pernyataan sains hanya tergantung pada bukti penerapannya, dan bukan pada ilmuwan yang menjalankannya.
7. Penggantungan pendabat, pernyataan-pernyataan sains hanya dibuat atas dasar bukti yang meyakinkan.
8. Reduksionisme, cara yang dominan untuk mencapai kemajuan sains
9. Fragmentasi, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit, karenanya harus dibagi ke dalam disiplin-disiplin dan subdisiplin-subdisiplin.
10. Universalisme, meskipun sains itu universal, namun buahnya hanya bagi mereka yang mampu membelinya, dengan demikian bersifat memihak.
11. Individualisme, yang meyakini bahwa ilmuwan harus menjaga jarak dengan permasalahan sosial, politik, dan ideologis.
12. Netralitas, sains adalah netral, apakah ia baik ataukah buruk
13. Loyalitas kelampok, hasil pengetahuan baru melalui penelitian merupakan aktivitas terpenting dan perlu dijunjung tinggi.
14. Kebebasan ahsolut, setiap pengekangan atau penguasaan penelitian sains harus dilawan.
15. Tujuan membenarkan sarana, karena penelitian ilmiah adalah mulia dan penting bagi kesejahteraan umat manusia, setiap sarana, termasuk pemanfaatan hewan hidup, kehidupan manusia, dan janin, dibenarkan demi penelitian sains.
Sedangkan ukuran Ukuran Sains Islam sendiri adalah sebagai berikut:
1. Percaya Pada wahyu
2. Sains adalah saranauntuk mencapai ridla Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spiritual dan sosial.
3. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu, objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid.
4. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha sains spiritual maupun sosial.
5. Pemihakan pada kebenaran, yakni, apabila sains merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang ilmuwan harus peduli pada akibat-akibat penemuannya sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah ilmuwan agar jangan menjadi agen tak bermoral.
6. Adanya subjektivitas, arah sains dibentuk oleh kriteria subjektif validitas sebuah pernyataan sains bergantung baik pada bukti-bukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya.
7. Menguji pendapat, pernyataan-pernyataan sains selalu dibuat atas dasar bukti yang tidak meyakinkan; menjadi seorang ilmuwan adalah menjadi seorang pakar, juga pengambil keputusan moral, atas dasar bukti yang tidak meyakinkan sehingga ketika bukti yang meyakinkan dikumpulkan barangkali terlambat untuk rnengantisipasi akibat-akibat destruktif dari aktivitas seseorang.
8. Sintesa, cara yang dominan meningkatkan kemajuan sains; termasuk sintesis sains dan nilainilai.
9. Holistik, sains adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi ke dalarn lapisan yang lebih kecil; la adalah pemahaman interdisipliner dan holistik.
10. Universalisme, buah sains adalah bagi seluruh umat manusia dan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan tidak bisa ditukar atau dijual; sesuatu yang tidak bermoral.
11. Orientasi masyarakat, penggalian sains adalah kewajiban masyarakat (fard kifayah), baik ilmuwan maupun masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang meyakini adanya interdependensi antara keduanya.
12. Orientasi nilai, sains, seperti halnya semua aktivitas manusia adalah sarat nilai; ia bisa baik atau buruk, halal atau haram; sains yang menjadi benih perang adalah jahat. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk-Nya, hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaanNya: manusia, hutan dan lingkungan. Tuhanlah yang menyediakan legitimasi bagi usaha ini dan, karenanya, harus didukung sebagai tindakan umum dan bukanlah usaha golongan tertentu.
13. Manajemen sains merupakan sumber yang tak terhingga nilainya, tidak boleh dibuangbuang dan digunakan untuk kejahatan; ia harus dikelola dan direncanakan dengan baik dan harus dipaksa oleh nilai etika dan moral. Tujuan tidak membenarkan sarana, tidak ada perbedaan antara tujuan dan sarana sains. Keduanya semestinya diperbolehkan (halal), yakni, dalam batas-batas etika dan moralitas.

























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

pengertian Islamic science adalah ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana yang dikenal dewasa ini seperti Tafsir, Hadits, Fiqh, Kalam, Tasawuf, dan lain-lain. Pandangan yang mereduksi ilmu-ilmu ke-Islam-an hanya terbatas pada ilmuilmu keagamaan sebagaimana yang kita kenal dewasa ini, juga dimiliki oleh sebagian pemikir Muslim.
Adapun Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah).
Sedangkan yang menjadi perbedaan yang mendasar dari sains barat dan Islam adalah letas sumber ilmu pengetahuan nsains itu sendiri kalau Islam dari Allah Tuhan semesta Allah dengan beberapa pendekatan yaitu :pendekatan empiris, rasionalis, dan intuisi. Sedangkan kalau barat hanya sebatas empiris dan rasionalis













DAFTAR PUSTAKA

 Ghazali, t.t., Ihya'u Ulum al-Dien, Dar al-Fikr, Beirut-Libnan,
 Ghulsyani, Mahdi, 1989, Filsafat Sains menurut Al-Qur'an, Bandung: Mizan.
 Kartanegara, 2003, Mulyadhi, Menyibak Teori Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan.
 Encyclopedia Wikipedia, Science, http://www.answers.com/topic/science.
 Munawwar, Ahmad Anees, 1986What Islamic sciences is Not, MAAS Journal of Islamic sciences.
 Hassan, Usman, 2003, The Concept of Ilm and Knowledge in Islam, The Association of Muslim Scientists and Engineers.
 Nasr, Seyyed Hossein, 1970Science and Civilization in Islam, New American Library, New York.
 Isma'il Razi al-Faruqi, 1992, Al-Tauhid: Its Implications for Thought and Life, The International Institute of Islamic Thought, Virginia-USA.
 Ziauddin Sardar, 1985, Islamic Futures: The Shapes of Ideas to Come, Mansell, New York.
 Encyclopedia Wikipedia (2002) http://en.wikipedia.org/wiki/Ismail_al-Faruqi.html

Selasa, 22 Desember 2009

arti hidup

.......tiada......ada......tiada....ada...????